Webinar Optimalisasi Pendayagunaan Infrastruktur Irigasi


Deskripsi Kegiatan :

SESI I: Peluang Skema KPBU dalam Pembiayaan Pengelolaan Infrastruktur SDA

 

1. Pembukaan: Bapak Abdul Malik Sadat Idris, Direktur Pengairan dan Irigasi, Bappenas

Dalam pembukaannya, Bapak Direktur menyampaikan bahwa acara ini merupakan diseminasi dari beberapa kegiatan yang dilakukan oleh Knowledge Management Center IPDMIP pada tahun 2020. Studi tersebut dilakukan dalam rangka optimalisasi pemanfaatan infrastruktur irigasi, terutama dikaitkan dengan dinamika yang terjadi, diantaranya konversi lahan sawah, kebutuhan listrik di perdesaan dan kapasitas fiskal pemerintah. Beberapa output studi yang dilakukan sudah cukup advanced, sebagian lagi masih bersifat preliminary.

Harapan Bappenas selaku pelaksana kegiatan tersebut adalah bahwa hasil studi tersebut dapat digunakan oleh para pemangku kepentingan dalam mewujudkan infrastruktur irigasi yang bersifat multi-purpose dalam kerangkan perbaikan layanan dan peningkatan efisiensi investasi pemerintah.

 

Narasumber I: Bapak Ragil Purwanto, Konsultan Pelaksana Preliminary Study

Motivasi utama pelaksanaan KPBU yang ada dalam renstra PUPR 2020-2024 adalah penggunaan dana swasta dan akses ke sumber pembiayaan untuk pembangunan infrastruktur baru sehingga perlu didorong untuk motivasi pelaksanaan KPBU yang lain seperti untuk meningkatkan efisiensi dan menggunakan aset infrastruktur dengan lebih efektif; dan untuk mereformasi sektor melalui realokasi peran, insentif dan akuntabilitas. Dengan motivasi-motivasi yang lain ini maka potensi penyelenggaraan OP irigasi dengan skema KPBU menjadi lebih terbuka. Sebagai contoh penerapan KPBU-AP dalam sistem pengelolaan irigasi yang diharapkan akan menciptakan sinergi antar pemangku kepentingan, Nilai IKSI daerah irigasi di BBWS Bengawan Solo yang di TPOP-kan rata-rata lebih rendah dibanding yang dikelola langsung oleh BBWS.

Beberapa keuntungan yang bisa didapat melalui pola KPBU untuk OP Irigasi antara lain:

  • Re-focusing tugas tanggung jawab dan peran pemerintah, Petani dan Badan Usaha
  • Efisiensi dan kualitas layanan publik yang lebih baik
  • Percepatan adaptasi pengelolaan berbasis data dan penerapan teknologi di sektor irigasi
  • KPBU OP Irigasi dan Partisipasi petani dapat berjalan beriringan dan saling melengkapi

Dengan mempertimbangkan Value for Money (VfM) yaitu optimalisasi investasi, maksimalisasi efisiensi, alokasi resiko, transfer pengetahuan dan teknologi dan kemampuan badan usaha maka bentuk KPBU yang direkomendasikan adalah Design Rehabiliation Upgrading Operating and Maintenance (DRUOM). Tujuannya adalah untuk membandingkan dampak finansial dari proyek KPBU (perkiraan penawaran badan usaha) terhadap alternatif penyediaan infrastruktur secara tradisional oleh Pemerintah (Public Sector Comparator – PSC). Skema pembiayaan proyek menggunakan Pembayaran Ketersediaan Layanan atau Availability Payment. Yang besarannya ditentukan dalam perjanjian KPBU dan dibayarkan secara periodik (dapat per kuartal atau per semester).

 

Narasumber II: Bapak Dr. Ir. Herry Trisaputra Zuna, S.E., M.T., Direktur Pengembangan Sistem Dan Strategi Penyelenggaraan Pembiayaan. Kementerian PUPR

Arah kebijakan pembiayaan infrastruktur bidang PUPR memperhatikan kelayakan proyek, skema pembiayaan, dan pengadaan infrasturktur skema KPBU beserta manfaatnya. KPBU dengan mekanisme Availability Payment memiliki beberapa keuntungan sebagai berikut:

  • Transfer risiko dari Pemerintah kepada Swasta seperti: Resiko Konstruksi (Cost-overruns dan Time-overruns) dan Resiko Operasi
  • Meminimalisasi Biaya keseluruhan Proyek (Life Cycle Cost). Pembiayaan, pendanaan, dan delivery harus terbentuk siklus
  • Mengurangi beban keuangan awal bagi Pemerintah melalui pembayaran terjadwal/rutin (flat and scheduled payment) (KPBU-AP)
  • Dapat menyediakan lebih banyak layanan infrastruktur dengan anggaran yang sama (KPBU-AP)
  • Melibatkan lebih banyak stakeholders yang memonitor proyek secara lebih transparan

Dalam konteks KPBU untuk infrastruktur Sumber Daya Air (SDA), berikut ini adalah kesimpulan dan solusi yang ditawarkan:

  • Skema KPBU dapat memenuhi Funding Gap sesuai target RPJMN/Renstra.
  • Skema KPBU-AP pada proyek jalan non tol dapat diterapkan pada Proyek Infrastruktur SDA dengan Standar Pelayanan Minimum (SPM) yang ditentukan oleh PJPK
  • Operation & Maintenance dapat ditugaskan ke BUP dengan pengendalian ada pada pemerintah/PJPK, sehingga negara tetap hadir pada penyediaan infrastruktur SDA. Untuk melaksanakan Operasi dan Pemeliharaan, Badan Usaha Wajib mematuhi Kriteria Layanan Infrastruktur (SLA) atau Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang ditetapkan oleh Pemerintah (salah satunya Pola Operasi Waduk yang telah ditetapkan Ditjen SDA)
  • Sebagai upaya untuk memastikan investasi skema KPBU sektor SDA dapat berjalan, penyesuaian regulasi perlu dilakukan

 

Narasumber III: Bapak M. Zulfikar Dachlan, Fasilitator PJB

Konsep KPBU-AP sektor SDA sudah diatur di Perpres 38 Tahun 2015 dan PMK No 260/2016. Potensi proyek KPBU sektor SDA bisa berasal dari layanan listrik, air baku, dan irigasi. Besaran pembayaran AP menjadi salah satu parameter utama untuk memastikan VfM dapat tercapai. Oleh karena itu, estimasi terhadap besarannya perlu dilakukan dengan mempertimbangkan perkiraan besar dari biaya investasi/capital expenditure (“Capex”), biaya operasi/operating expenditure (“Opex”), biaya modal (ekuitas dan pinjaman bank), di samping nilai risiko yang ditransfer kepada BUP.

Besar penganggaran AP ditetapkan berdasarkan kewajiban pelaksanaan sesuai Perjanjian KPBU. Nilai setiap tahunnya dapat ditetapkan sesuai dengan mana yang lebih menarik bagi BUP dengan tetap menjaga VfM. Penetapan tersebut bisa berdasarkan besaran tetap selama masa perjanjian, naik seiring dengan inflasi, atau menurun mengikuti kebutuhan pengembalian modal pinjaman.

Beberapa faktor keberhasilan pelaksanaan KPBU AP untuk infrastruktur SDA adalah:

  • Perencanaan yang tepat
  • Sinergitas antar stakeholders: Membangun komunikasi dan melakukan transfer knowledge dengan masyarakat sekitar tapak Proyek dan pihak terkait lainnya
  • Proses Pengadaan dan Pelaksanaan Konsesi: (1) Proses pengadaan KPBU yang sesuai prosedur dengan mengedepankan aspek transparansi, akuntabel, dan kompetitif untuk mendapatkan Mitra Badan Usaha yang kompeten dan berkomitmen men-deliver proyek; (2) Perumusan kontrak kerja sama yang berimbang bagi kedua pihak (PJPK dan Mitra Badan Usaha); (3) Proses monitoring dan evaluasi kontrak yang erat antara PJPK dan Badan Usaha untuk memastikan critical path dapat termonitor dengan baik dan permasalahan yang timbul dapat segera diselesaikan; (4) Perlunya unit kerja yang dedicated untuk monev pelaksanaan konsesi.

 

Tanggapan dari Pembahas: Bapak Dadang, Direktorat Bina OP Kementerian PUPR

Sebagai penanggap, berikut ini adalah beberapa hal penting yang disampaikan:

  • Pada prinsipnya mendukung pelaksanaan KPBU, namun demikian harus sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan, sehingga diperlukan perubahan terhadi peraturan perundangan yang berlaku saat ini.
  • Permasalahan umum irigasi di lapangan yaitu keandalan penyediaan air irigasi, sarana dan prasarana irigasi, sistem pengelolaan irigasi, institusi irigasi, dan sumber daya manusia
  • Berdasarkan kinerja irigasi nasional tahun 2017-2019, masih terdapat kinerja yang kurang dan buruk
  • Kerja sama pendanaan tidak termasuk kerja sama pelaksanaan OP. Jenis pendanaan OP irigasi selama ini masih berasal dari APBN yaitu rupiah murni dan pinjaman
  • Aknop selalu lebih besar dari anggaran OP tahunan meskipun sudah lebih dari 50 %
  • Untuk Kerjasama dengan Badan Usaha, rencananya akan dilakukan melalui Penunjukan langsung badan usaha pelaksana kegiatan OP (bukan kerja sama)
  • Direkomendasikan untuk melakukan penyesuaian regulasi pelaksanaan KPBU untuk jaringan irigasi (SDA)

 

SESI 2 : Pemanfaatan Air Irigasi untuk Sumber Air Baku sebagai Konsekuensi Perubahan Lahan Sawah

Sesi ini diawali dengan pemaparan hasil Preliminary Study “Potensi Pemanfaatan Air Irigasi sebagai Alternatif Pemenuhan Air Baku di Pulau Jawa dengan Studi Kasus Beberapa Kota/Kabupaten” oleh Winda Diana Sari, S.T. selaku Tim Tenaga Ahli Preliminary Study. Kemudian dilanjutkan dengan paparan materi oleh 2 (dua) orang Narasumber, yaitu :

Anang Muchlis, Sp. PSDA

Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Citarum, Ditjen Sumber Daya Air, Kementerian PUPR

“Potensi Realokasi Air Irigasi menjadi Air Baku”

Direktur Operasi dan Pemeliharaan, Perum Jasa Tirta II

“Tantangan dan Hambatan dalam Realisasi Realokasi Air Irigasi”

Paparan materi dari Narasumber ditanggapi oleh Pembahas, dalam hal ini disampaikan oleh Dery Indrawan, dari Balai Teknik Irigasi, Kementerian PUPR. Kemudian sesi 2 ini ditutup dengan diskusi.

 

Pemaparan Hasil Preliminary Study

Dasar pemikiran yang melatar belakangi studi ini diantaranya adalah bahwa sebagian besar (hampir 90%) air di Indonesia digunakan oleh irigasi untuk pertanian. Luas lahan pertanian beririgasi (terutama di Pulau Jawa) yang cenderung menurun dari waktu ke waktu akibat konversi lahan pertanian menjadi bukan pertanian (diantaranya untuk permukiman dan atau industri) berarti seharusnya juga mengurangi kebutuhan air untuk irigasi. Selisih antara air irigasi yang tersedia dengan kebutuhannya secara nyata berpotensi dapat direalokasikan untuk pemenuhan air baku (khususnya melalui sistem perpipaan) yang selama ini kondisinya menunjukkan defisit di hampir seluruh kabupaten/kota di Pulau Jawa.

Berdasarkan hasil studi diketahui bahwa semua kabupaten lokasi studi (yaitu Kabupaten Bekasi, Karawang, Subang, dan Purwakarta) mengalami defisit air baku, dan juga mengalami penurunan luas lahan pertanian beririgasi (berarti terdapat air irigasi yang berpotensi untuk direalokasikan untuk pemenuhan kebutuhan air baku). terjadi perubahan lahan sawah menjadi non sawah mencapai lebih dari 1000 ha/tahun di lokasi studi tersebut. Penurunan luas lahan sawah berdasarkan citra satelit terjadi di seluruh kabupaten lokasi studi, yang berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai tambahan air baku domestik. Profil penurunan laju lahan pertanian, dan potensi penggunaan air irigasi untuk pemenuhan kebutuhan air baku, dapat dilihat pada tabel berikut :

No

Lokasi Studi

Laju Perubahan Sawah (ha/Tahun)

Alokasi Air Irigasi (liter/detik/ha)

Potensi Realokasi Air Irigasi untuk Air Baku

1

Kab. Bekasi

1.603,43

0,51

817,15 liter/detik

Setara dengan kebutuhan air baku domestik 245ribu penduduk (6,5% total penduduk Kab. Bekasi)

2

Kab. Karawang

1.106,12

0,58

646,37 liter/detik

Setara dengan kebutuhan air baku domestik 154ribu penduduk (6,6% total penduduk Kab. Karawang)

3

Kab. Subang

2.581

0,53

1.373,84 liter/detik

Setara dengan kebutuhan air baku domestik 522ribu penduduk (32% total penduduk Kab. Bekasi)

4

Kab. Purwakarta

1.806,06

0,91

1.634,61 liter/detik

Setara dengan kebutuhan air baku domestik 640ribu penduduk (66% total penduduk Kab. Bekasi)

Dengan demikian diketahui bahwa terdapat potensi realokasi air irigasi untuk Sumber Air Baku disetiap lokasi studi. Hal penting yang perlu dipikirkan kedepan adalah bagaimana strategi implementasi untuk merealisasikan potensi tersebut untuk secara riil dapat dimanfaatkan sebagai air baku (terutama melalui sistem perpipaan).

 

Narasumber 1 : Ir. Anang Muchlis, Sp. PSDA

Wilayah Sungai Citarum merupakan wilayah sungai terbesar di Provinsi Jawa Barat dengan luas 11.323,4Km2 meliputi 12 kabupaten dan terdiri dari 19 Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan aliran Sungai Citarum sebagai sungai utama yang terbesar dan terpanjang di Jawa Barat, memiliki panjang 297km dari hulu di Situ Cisanti (selatan Kota Bandung) dan bermuara di pantai utara Pulau Jawa tepatnya di Muara Gembong, Kabupaten Bekasi. Sumber daya air di Wilayah Sungai Citarum dimanfaatkan untuk penggerak turbin PLTA sebagai energi Pulau Jawa dan Bali; pemasok air baku domestik dan industri; mengairi daerah irigasi; dan sumber utama air baku Ibu Kota Negara (Jakarta). Terdapat 8 (delapan) daerah irigasi kewenangan Pemerintah Pusat yang berada dalam wilayah kerja Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum, dengan luas total 271.364 hektar.  

Identifikasi Potensi Realokasi Air Irigasi menjadi Air Baku dilakukan melalui studi kasus pada Daerah Irigasi (DI) Jatiluhur, khususnya di Saluran Tarum Barat. Sebagaimana umumnya lahan pertanian beririgasi di Pulau Jawa, lahan pertanian yang diairi dari Saluran Tarum Barat juga mengalami penurunan luasan yaitu dari 57.433 hektar pada tahun 2006 menjadi 49.430 hektar pada tahun 2010. Berdasarkan data pada tahun 2020, sumber daya air di Saluran Tarum Barat dimanfaatkan untuk mengairi seluas 42.074 lahan pertanian, dan 31,36 m3/ detik untuk PDAM dan Industri. Besarnya perubahan alih fungsi lahan dari area persawahan menjadi area pemukiman dan industri khususnya di Saluran Tarum Barat sebesar 15.359 ha. Regulais UU. No. 41 tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan berjalan kurang efektif karena area luas sawah dari waktu ke waktu terus berkurang.

Berdasarkan SK Gubernur Jawa Barat No 521/Kep.951-Rek/2019 tentang Rencana Tata Tanam Padi Tahun 2019/2020 di Daerah Irigasi Jatiluhur, luas tanam padi di Saluran Tarum Barat adalah 42.652 hektar. Kemudian berdasarkan hasil koordinasi Tim Koordinasi Pengelolaan Bendungan Kaskade Citarum (TKPBKC) dan memperhatikan Surat Keputusan (SK) Gubernur Jawa Barat No. 521/Kep-951-Rek/2019, luas tanam padi DI Jatiluhur pada saluran induk Tarum Barat adalah 35.080hektar.

Alih fungsi lahan pertanian akibat peningkatan kawasan industri dan permukiman telah menyebabkan penurunan luas layanan irigasi sebesar 15.359 hektar, yaitu dari 57.433 hektar pada tahun 2010 menjadi 42.074 hektar pada tahun 2020. Hal tersebut berpotensi untuk melalukan efisiensi air irigasi dan penambahan pasokan air baku untuk DMI sebesar 15,3 m3/detik. Potensi tambahan air baku sebesar 15,3 m3/detik tersebut sudah dialokasikan untuk Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Jatiluhur 1 sebesar 5 m3/detik dan SPAM Juanda sebesar 10 m3/detik. SPAM Juanda direncanakan dimasukkan dalam review Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air (RPSDA) Wilayah Sungai Citarum tahun 2021-2025.

 

Narasumber 2 : Direktur Operasi dan Pemeliharaan, Perum Jasa Tirta II

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) 7 Tahun 2010 tentang Perusahaan Umum (Perum) Jasa Tirta II, tugas dan tanggung jawab yang diamanahkan kepada Perum Jasa Tirta II (PJT II) dalam pengusahaan sumber daya air untuk kegiatan usaha dan pelaksanaan tugas pengelolaan SDA diantaranya adalah penyediaan air irigasi (DI Jatiluhur bagian utara seluas 237ribu hektar, dan DI Jatiluhur bagian selatan seluas 60ribu hektar; pasok air baku 1miliar m3/tahun; pelaksanaan konservasi; operasi dan pemeliharaan rutin terhadap sarana dan prasarana sumber daya air yang telah dibangun oleh Pemerintah dan diserahoperasikan kepada PJT II; dan optimasi operasi 3 (tiga) waduk yang ada di Wilayah Sungai Citarum). Dari pelaksanaan tugas tersebut terdapat kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai kegiatan usaha yang sangat dibutuhkan dalam rangka pemenuhan aspek keuangan dari pengelolaan sumber daya air secara berkelanjutan. Kegiatan usaha ini yaitu: pasok air baku melalui biaya jasa pengelolaan sumber daya air (BJPSDA) dari para pengguna air; aset pembangkit listrik tenaga air (PLTA); laboratorium; pariwisata; dan penyediaan SPAM. Adapun capaian dan benefit dari pengelolaan SDA yaitu ketahanan pangan nasional, pengendalian banjir, ketahanan 

energi nasional, ketahanan fungsi prasarana SDA, katahanan daya dukung DAS, dan ketahanan air minum dan industri.

Tantangan dan hambatan yang dihadapi oleh PJT II adalah terkait dengan bagaimana menjalankan dengan baik sesuai target amanah yang sudah ditugaskan (utamanya dalam menjaga kehandalan pasok air baku), yaitu kelestarian sumber air, kehandalan prasarana SDA, karakteristik pemanfaat dan kebutuhan air baku, dan kehandalan operasi :

1. Kelestarian Sumber Air.

Merupakan upaya kegiatan konservasi di WS Citarum oleh PJT II, dengan sub kegiatan meliputi: upaya menjaga kondisi wilayah tangkapan air dalam DAS; dan pemenuhan kebutuhan biaya konservasi untuk DAS dan perairan waduk.

Dalam rangka menjalankan tugas ini, PJT II harus berkoordinasi dengan instansi terkait diantaranya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Perhutani, PTPN, dll.

2. Kehandalan Prasarana SDA.

Kegiatan ini dilakukan dalam rangka menjamin keberlanjutan keberfungsian sarana dan prasarana sumber daya air. Hal yang dilakukan adalah terkait dengan :

Updating Kondisi dan Umur prasarana; Sinergitas Pemenuhan Program dan Kebutuhan Biaya Pemeliharaan, Rehabilitasi dan Retrofit Prasarana SDA, termasuk Modernisasi Sistem Irigasi.

3. Perumusan Kebutuhan Air Baku.

Kegiatan ini terkait dengan bagaimana PJT II dapat merumuskan strategi pemenuhan kebutuhan pasok air baku yang meliputi : Perencanaan Pasok Air Baku dariWaduk Ir. H. Djuanda; Rencana dan Realisasi Tanam D.I Jatiluhur; Tren Penurunan Luasan Areal Sawah (Layanan Sistem Saluran Tarum Barat); Dukungan Pasok Air Baku Pengembangan SPAM Regional; dan Neraca Ketersediaan Air Waduk Ir.H.Djuanda.

4. Kehandalan Operasi.

Kegiatan ini meliputi: Optimalisasi Operasi Waduk Ir. H. Djuanda; integrasi operasi sistem Saluran Tarum Barat (Pasok Air Waduk + Suplesi Sungai Lokal); Pengembangan Smart Water Operation & Management (SWOM); dan Sistem Informasi Sumber Daya AIR (WEB-BASED SISDA).

Setiap kegiatan yang dilakukan oleh PJT II sebagaimana dijelaskan di atas memiliki tantangan tersendiri terutama dipengaruhi oleh kondisi dan tren perubahan iklim, umur pakai sarana prasarana SDA, meningkatnya jumlah dan bauran kebutuhan air baku, dinamika perkembangan teknologi dalam operasi, dan juga bagaimana untuk dapat menjaga kegiatan usaha dalam rangka menjaga kondisi keuangan dalam rangka menjalankan amanah yang telah ditugaskan.

 

Tanggapan dari Pembahas: Dery Indrawan, Balai Teknik Irigasi, Kementerian PUPR

  1. Alih fungsi lahan pertanian (beririgasi) menjadi lahan bukan pertanian (terutama di daerah yang berkembang ke arah kota), berpotensi mengurangi kebutuhan alokasi air untuk irigasi, dimana selisihnya dapat direalokasikan untuk pemenuhan kebutuhan air baku untuk domestik dan industri yang cenderung meningkat dari waktu ke waktu.
  2. Pada daerah irigasi (DI) Jatiluhur, khususnya di Saluran Tarum Barat (wilayah Kabupaten Bekasi, Karawang dan Jakarta) telah dilakukan pengalihan alokasi air irigasi (±43%) untuk air baku (PDAM dan industri). Meskipun demikian, permintaan air baku masih belum sepenuhnya dapat dipenuhi dari realokasi air irigasi tersebut.
  3. Sebagian alokasi air di Saluran Tarum Barat memang selama ini banyak digunakan untuk keperluan irigasi sekitar 57 %.
  4. Undang Undang 17 tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, urutan prioritas pemenuhan kebutuhan air adalah kebutuhan pokok sehari-hari; kebutuhan pertanian rakyat; usaha penyediaan air minum; kegiatan kepentingan publik; dan usaha lainnya yang berizin.
  5. Konsep utama jaringan irigasi untuk mengairi lahan pertanian tetap dipertahankan dengan mendetailkan data lahan dan pengendalian alih fungsi lahan.
  6. Rencana pemanfaatan (realokasi) potensi air yang berasal dari penurunan kebutuhan air irigasi untuk kebutuhan air baku perlu didetailkan, terkait dampak terhadap kegiatan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi. Upaya untuk meminimalisir dampak terhadap kegiatan OP jaringan yaitu dengan pemilihan lokasi inlet (misal pada ruas tanpa giliran); menggunakna metode pemeliharaan alternatif (normalisasi, dsb); dan mengidentifikasi tambahan biaya AKNOP. Perlu dipikirkan kembali secara baik dan cermat titik titik pasti dari suatu sistem irigasi yang dapat diefisienkan alokasi air irigasinya. Penghitungan neraca air secara akurat sangat diperlukan.
  7. Sebagaimana PJT II melalui pengembangan Smart Water Operation & Management (SWOM), salah satu teknologi informasi yang dikembangkan oleh Kementerian PUPR adalah Sistem Manajemen Operasi dan Pemeliharaan Irigasi (SMOPI) yang melakukan pencatatan kondisi irigasi dan alokasi air sampai dengan level jaringan tersier dengan diintegrasikan terhadap sistem telemetri, sehingga diketahui berapa kebutuhan dan ketersediaan air secara tepat dan riil time. SMOPI merubah pelaporan blanko manual ke sistem informasi digital (sebagai dasar modernisasi irigasi). Saat ini SMOPI diimplementasikan di 34 daerah irigasi (belum di semua daerah irigasi).

 

Sesi Tanya Jawab

Pendayagunaan SDA di antaranya untuk irigasi tentu harus dioptimalkan bila infrastrukturnya belum memadai. Tetapi, jika sumber airnya dialihkan (sebagian) untuk peruntukan lain, perlu dikaji dulu secara seksama dimana letak permasalahan dan skala prioritasnya. Pada WS yang sudah dikaji dan ditetapkan, pola pengelolaan sudah diukur, dihitung, dan diestimasi ke depan termasuk neraca air dengan masing-masing aspek konservasi, pendayagunaan, dan pengendalian daya rusak air. Jika terjadi perubahan pendayagunaan, tentunya perubahan tersebut harus tetap dalam koridor yang tidak akan mempengaruhi neraca secara total, tetapi hanya segmen perubahan tersebut. Pelibatan badan usaha/swasta tidak masalah selama jelas tujuan dan sasarannya disetujui/menguntungkan para pihak dan dipayungi peraturan perundangan-undangan.

No

Penanya

Pertanyaan

Tanggapan

1

Waluyo Hatmoko (Bintek SDA, PUPR)

Penghematan air irigasi akan memberikan tambahan suplai yang signifikan pada air baku. Upaya apa saja yang telah dilaksanakan atau yang direncanakan untuk menghemat air irigasi, selain dari realokasi? Apa saja tantangan dan hambatannya?

Kisaran 15 m/dt perlu telaah lebih lanjut.
Perlu diketahui dampak dari alif fungsi lahan terhadap alokasi air.
Upaya yang sudah dilakukan BBWS Citarum yaitu melalui program SIMURP dengan melakukan pembenahan dan efisiensi di jaringan irigasi

2

Agus Budi R

Apa program yang tepat berkaitan perubahan tataguna lahan dan alih fungsi saluran irigasi ke drainasi?

Berdasarkan pengalaman kami dalam penyusunan Masterplan Drainase Kota Bogor, terkait perubahan tataguna lahan dan alih fungsi saluran irigasi ke drainase, program yang sejauh ini paling efektif adalah Normalisasi Saluran, Pak, yaitu berupa penyesuaian ketinggian/kedalaman saluran (pengerukan). Hal ini karena kita ketahui bahwa saluran irigasi dan saluran drainase itu beda arah pengalirannya. Sal. irigasi mengalir dari sungai ke lahan, sebaliknya sal. drainase mengalir dari lahan ke sungai. Apabila lahan sawah sudah berubah sepenuhnya menjadi pemukiman (tidak tersisa sawah sedikitpun), sal. irigasi itu bisa dinormalisasi agar dapat difungsikan menjadi sal. drainase (bila memang pembuatan saluran drainase baru tdk dapat dijadikan opsi). Namun hal yang paling harus diperhatikan adalah ketinggian dasar saluran thp permukaan, Pak, harus disesuaikan sedemikian rupa agar tidak terjadi backflow saat hujan (ini sering terjadi di beberapa saluran di Kota Bogor yang sudah dialihfungsikan menjadi saluran drainase). Karena tipikal sal. irigasi sendiri kan lebar dan dangkal, ditambah yang tadinya menjadi hilir (irigasi), sekarang menjadi hulu (drainase).

 

Berkurangnya (beralih fungsinya) saluran irigasi ke drainase biasanya terjadi di lokasi dimana areal persawahan yang sebelumnya perlu disuplai air dari saluran irigasi sudah habis (sudah beralih menjadi pemukiman, industry atau fasum fasos lainnya), sehingga air irigasi sudah tidak dialirkan, namun saluran tersebut sering dimanfaatkan menjadi drainase permukiman. Program yang tepat berkaitan perubahan tataguna lahan dan alih fungsi saluran irigasi ke drainasi seyogyanya yang tetap menjaga fungsi pengaliran, menjaga batas-batas lahan saluran yang notabene kepemilikan lahan negera, menjaga kebersihan baik di instream maupun offstreamnya.

3

Achmad Sasmito

Adanya bencana banjir dan longsor di Kalsel dan NTT, apakah desain irigasi sudah disiapkan sesuai kondisi cuaca ekstrim. Bagaimana di NTT saluran irigasi saat ini?

Pada umumnya, sistem irigasi pengaturannya agak terpisah dengan sistem sungai alam. Sebagian besar desain irigasi merupakan saluran punggung, sementara aliran alamiah / sungai merupakan saluran lembah. Jadi pada umumnya desain irigasi berada pada posisi lebih tinggi dari kontur sekitarnya. Namun di beberapa perlintasan saluran irigasi dan saluran alamiah tersebut (gorong-gorong, talang dan lain-lain) yang memang perlu disiapkan agar mampu mengatasi debit banjir dari sungai alam dengan periode tertentu. Saat ini desain irigasi sudah memperhitungkan faktor tersebut.

 

SESI 3 : Potensi Pemanfaatan Jaringan Irigasi untuk PLTMH

Sesi ini diawali dengan pemaparan hasil Preliminary Study “Penilaian Terhadap Rencana Kesiapan Pemanfaatan Jaringan Irigasi Untuk Pengembangan PLTMH dengan Menggunakan Standar Penilaian HSAP” oleh Tri Rahajoeningroem, S.T., M.T selaku Tim Tenaga Ahli Preliminary Study. Kemudian dilanjutkan dengan paparan materi oleh 3 (tiga) orang Narasumber, yaitu :

1. Vicky Ariyanti, S.T, M.Sc, Ph.D

Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak, Ditjen Sumber Daya Air, Kementerian PUPR

“Mengembangkan Potensi PLTMH di Jaringan Irigasi”

2. I Wayan Mustra

Pekaseh Subak Jatiluwih, Tabanan, Bali

“Masalah dan Tantangan Pembangunan dan OP PLTMH di Jaringan Irigasi”

3. Irawan

Komisaris Utama PT. Daya Energy Komering

“Masalah dan Tantangan Pembangunan dan OP PLTMH di Jaringan Irigasi”

Paparan materi dari Narasumber ditanggapi oleh Pembahas, dalam hal ini disampaikan oleh Dery Indrawan, dari Balai Teknik Irigasi, Kementerian PUPR. Kemudian sesi 3 ini ditutup dengan diskusi.

 

Pemaparan Hasil Preliminary Study Penilaian terhadap Rencana Kesiapan Pemanfaatan Jaringan Irigasi untuk Pengembangan PLTMH dengan menggunakan standar penilaian HSAP

Studi penilaian PLTMH dilakukan di 3 (tiga) lokasi PLTM/H yaitu PLTM Komering  (1,4MW sudah operasi sejak 2020) dan Bendung Perjaya (potensi 5MW) Kab. OKU Timur, Sumsel yang besumber dari saluran irigasi sungai komering, dan PLTMH Semawung Kab. Kulon Progo DIY (0,6MW sudah beroperasi sejak 2016). Protokol HSAP  yang digunakan dalam penilaian merupakan kerangka penilaian tahap awal untuk menilai kesiapan pemanfaatan pengembangan dan pengoperasian PLTMH yang berkelanjutan di jaringan irigasi. Protokol HSAP akan menghasilkan profil proyek berkelanjutan yang penilaiannya berdasarkan pada kinerja terkait topik-topik berkelanjutan. Adapun gap analysis dan rekomendasi berdasarkan pada aspek regulasi dan perizinan, kelembagaan, perencanaan teknis dan implementasi, sosial lingkungan, dan kelayakan ekonomi dan finansial. Berikut rekomendasi yang diberikan:

No

Bidang

Penjelasan

1

Regulasi dan Perizinan

Perlu secara konsisten kepada semua pihak yang terlibat dalam proses perizinan pengusahaan sumber daya air untuk mengikuti peraturan yang ada

Perlu dilakukan kajian mengenai regulasi besaran tarif BJPSDA dan mekanisme penarikan BJPSDA pada seluruh Wilayah Sungai di Indonesia

2

Kelembagaan

Perlu segera ditentukan mengenai perwakilan Lembaga Negara yang akan memungut BJPSDA

Selama ini PLTMH di jaringan irigasi berjalan dengan mekanisme pemanfaatan BMN melalui sewa lahan, perlu dikembangkan untuk pemanfaatan aset BMN non tanahagar PLTMH di bendung seperti Bendung Perjaya yang bukan berbentuk tanah dapat menggunakan mekanisme pemanfaatan BMN.

3

Perencanaan Teknis dan Implementasi

Dalam penentuan debit desain PLTM, perlu dilakukan analisis hidrologi yang baik dengan menggunakan sumber data yang jelas (curah hujan atau debit harian), series data historis yang jelas dan sesuai dengan ketentuan yang ada (minimal 10 tahun), serta mempertimbangkan pola operasi jaringan irigasi

Perlu adanya analisis geoteknik dan kegempaan dalam perencanaan PLTMH untuk mengetahui daya dukung tanah dan stabilitas lereng terutama di bagian kolam penenang dan penstock

Diperlukan adanya pertimbangan mengenai perubahan tata guna lahan untuk menjamin ketersediaan debit.

4

Sosial Lingkungan

Perlu adanya monitoring terkait aspek sosial yaitu persepsi negatif masyarakat dan mata pencaharian masyarakat serta perubahan perilaku sosial masyarakat.

Perlu adanya monitoring terkait aspek lingkungan yaitu kualitas air, kualitas udara dan kebisingan, keberadaan flora dan fauna

5

Kelayakan Ekonomi dan Finansial

Pada perhitungan Feasibility Study sebaiknya harga jual listrik menggunakan BPP listrik pada daerah tersebut ataupun BPP listrik pada tingkat nasional, untuk memaksimalkan pendapatan PLTM/PLTMH melalui harga serta menjadi margin of safety bagi PLTM/PLTMH untuk mengurangi risiko penurunan produksi listrik pada musim-musim tertentu ketika debit air menurun.

Debit air rencana seharusnya lebih disesuaikan dengan debit air aktual yang ada di lapang, tujuannya agar perhitungan Feasibility Study lebih akurat terhadap keberlangsungan proyek PLTM/PLTMH.

Pada perhitungan BCR seharusnya mempertimbangkan nilai ekonomi manfaat dan biaya dari lingkungan dan industri sekitar agar perhitungan BCR lebih relevan dengan mempertimbangkan banyak aspek, tidak hanya berasal dari pendapatan dan pengeluaran PLTM/PLTMH itu sendiri.

 

Narasumber I: Rr. Vicky Ariyanti, S.T, M.Sc, Ph.D, BBWS Serayu Opak, Kementerian PUPR

Pengelolaan SDA teridiri dari pendayagunaan, pengendalian daya rusak air, pemberdayaan masyarakat, sistem informasi SDA, dan konservasi. Pengusahaan infrastruktur irigasi untuk peruntukan lain seperti PLTMH perlu perizinan sesuai prosedur. Prosedur pemberian izin oleh Kementerian PUPR (SDA) teridiri atas pengecekan kelengkapan persyarakat (1 hari kerja), verifikasi (3 hari kerja), dan penetapan izin (1 hari kerja).

Pemanfaatan PLTMH di Jaringan Irigasi WS Serayu Opak sudah dilakukan, termasuk kajian terkait potensi PLTMH di WS Serayu Opak. Persyaratan operasional PLMTH harus menjamin debit yang keluar dari PLTMH sama dengan debit yang keluar dari jaringan irigasi.

 

Narasumber II: I Wayan Mustra, Pekaseh Subak Jatiluwih, Tabanan, Bali

Saluran air irigasi di subak Jatiluwih dimanfaatkan untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH). PLTMH dibangun dengan bantuan dana atau hibah dari JICA, Jepang di 3 (tiga) titik sejak tahun 2017. Operasi dan pemeliharaan PLTMH aktif dijalankan sejak November 2017 oleh Subak Jatiluwih. Operasi dan pemeliharaan PLTMH dilakukan oleh 3 orang teknisi yang sudah mendapatkan pelatihan khusus PLTMH di Jepang. Untuk PLTMH yang sudah berjalan dimanfaatkan untuk penerangan jalan lahan pertanian dan rencana jangka panjang akan dimanfaatkan sumber listrik rice milling unit milik subak Jatiluwih.

Kendala dalam pengelolaan PLTMH di Bali yaitu adanya sparepart yang harus didatangkan dari Jepang (teknologi impor) karena belum ada di Indonesia, sehingga 

perlu menigirimkan teknisi untuk mempelajari sparepart tersebut. Diharapkan sparepart tersebut dapat diproduksi di Indonesia.

 

Narasumber III: 3.Irawan, Komisaris Utama PT. Daya Energy Komering

Pemanfaatan jaringan irigasi untuk pengembangan energi listrik PLTMH dalam praktiknya tidak akan mengganggu aliran air irigasi yang digunakan untuk melayani kebutuhan masyarakat petani dalam mengerjakan budidaya pertanian. Beberapa keuntungan PLTMH di jaringan irigasi yaitu: i) konstruksi sederhana mudah dan murah dalam OP; ii) ramah lingkungan,; iii) dapat dipadukan dengan usaha lain perikanan atau UKM lainnya ; iv) daapt dikelola swadaya oleh masyarakat. Sedangakan kendalanya yaitu: i) perlu lahan untuk lokasi bangunan pembangkit dan kesepakatan dengan masyarakat; ii) ketersediaan spareparts pada lokasi remote; iii) masalah pemanfaatan listrik pada jaringan irigasi.

PLTM Komering dapat menghasilkan 1,4 MW (2x0,7MW) dengan debit desain 28 m3/det dan tinggi jatuh (head) 6 m. Masalah yang dihadapi di PLTM Komering yaitu terdapat koreksi ketinggian menjadi 5,7 m akibat adanya peninggian mercu 1 m pada hilir tailrace. Penyesuaian tinggi jatuh mengakibatkan adanya ketidaksesuaian debit air aktual sehingga terdapat penyesuaian pendapatan PLTM. Hanya 1 dari 2 turbin yang beroperasi menyebabkan produksi listrik tidak maksimal. Perbedaan harga antara listrik saat pelaksanaan FS dengan kontrak menyebabkan analisis ekonomi menjadi tidak akurat.

 

Tanggapan dari Pembahas: Bapak Rahmat S Lubis, Direktorat Irigasi dan Rawa, Kementerian PUPR

Produksi listrik Indoensia semakin banyak menggunakan energi baru terbarukan (EBT), yang mendukung pada ketahanan energi. Listrik di jaringan irigasi diharapkan menjadi alternative pengembangan energy listrik, dimana pemanfataannya tidak akan mengganggu penyaluran air ke lahan, karena hanya memanfaatkan aliran air yang menggunakan jaringan tersebut. Hal ini menjadi nilai tambah dari saluran tersebut.

Dengan adanya pembanguanan PLTMH yang ada di jaringan irigasi, dinilai bahwa PLTMH memiliki konstruksi sederhana dan pengoperasian relatif mudah serta ramah lingkungan karena memakai air saja, Untuk pengelolaan air, perlu disinkronkan dengan perikanan dan pertanian terkait agar tidak timbul masalah, serta UMKM yang sudah membuat turbin maupun OP dan memperhatikan penyediaan komponen mesin PLTM/H. PLTMH yang dikembangkan tidak hanya dilihat dari segmen jaringan irigasi, tapi juga mengidentifikasi potensi lain yang dapat dikembangkan untuk memanfaatkan infrastruktur yang ada. Tantangan dan kendala yang perlu diperhatikan dalam pengembangan PLTM/H yaitu: ketersediaan spareparts (terutama teknologi impor); penyiapan jaringan irigasi terkait pemanfaatan energi yang dihasilkan, terutama di daerah yang sudah memiliki jaringan PLN; kemanfaatan jaringan irigasi dengan pemanfaatan tools untuk menilai kesiapan PLTMH, yaitu HSAP.

Lebih banyak PLTM/H yang dipasang di bendung, dan dapat menjadi potensi pembangunan PLTM/H di jaringan irigasi (permukaan) untuk membangkitkan tenaga listrik. Hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan PLTM/H yaitu:

  • Perizinan: ketertarikan pengembang
  • Kesiapan data yang dibutuhkan untuk perencanaan
  • Kelembagaan untuk mengelola dan memanfaatkan
  • Sosial lingkungan
  • Kelayakan ekonomi dan financial

 

Sesi Tanya Jawab

No

Penanya

Pertanyaan

Tanggapan

1

Setio Wasito (ADB IPDMIP)

1. Apa kajian/penggunaan PLTMH pada Jaringan Irigasi ini mannfaat ekonomi bisa terinkoneksi dengan PLN atau Jaringan listrik nasional? atau secara nasional ada interconnecting mulai PLTMH dengan jaringan desa/kecamatan/Kabupaten/kota/provinsi sampai nasional?
Artinya setelah dianalisis melalui penilaian tahap awal dan seterusnya.

2. Apakah dalam analisis awal ada pendekatan konsep berkelanjutan untuk pembangunan irigasi terhadap PLTMH di jaringan  irigasi?

PLTMH dihubungkan dengan grid Jawa - Bali karena flow tidak kontinu, dan tidak dicadangkan sebagai grid utama dan dibeli oleh PLN

 

PLTMH yang dikembangkan masuk level menengah dan dihubungkan dengan jaringan isolated, sehingga tidak maksimal.

 

Daerah yang memiliki potensidan sudah ada jaringan PLN, dapat dikoneksikan bersama dengan PLN. Perlu dipikirkan energi dari PLTMH dikoneksikan dengan PLN yang ada sehingga kemanfaatannya menjadi lebih besar

2

Budi Indra Setiawan (IPB)

1. Berapa rate BJPSDA? Apakah sama di semua WS?

2. Kelihatannya ada potensi masalah/konflik baru? Bagaimana dengan penegakan aturan/hukum?

3. Mohon info Merk & Speks mikro hidro bantuan Jepang?

4. Yang menjadi konsen kita bersama adalah bagaimana nilai tambah dari pemanfaatan air irigasi bisa digunakan untuk OP infrastruktur. Kalau sulit menagihnya ke PT, mungkin melalui PLN yang membelinya. Pertanyaannya, kemana tarif iitu dibayarkannya?

BJPSDA di BBWS SO berdasarkan data DIPA 2015-2019 dengan biaya OP rata-rata per kegiatan dibagi manfaatnya. harga ini akan berbeda dengan WS lain.

Irigasi yang menggunakan rekomtek, lokasi yang berpotensi, saluran irigasi dan kaspasitasnya mumpuni untuk menambahkan fungsi tambahan, dengan mengidentifikasikan konflik yang mungkin timbul, terutama bagi para petani yang memanfaatkan jaringan irigasi.

 

Potensi masalah/konflik: pemanfaatan PLTM melalui proses seperti rekomtek. dalam proses ini akan dikaji kemanfaatan dan dampak terhadap fungsi yang ada saat ini. Konflik yang mungkin terjadi akan ditekan melalui rekomtek ini

Bentuk tagihan dan BLU belum jelas kedepan. PJT I dapat bekerjasama agar iuran bisa masuk kedalam kas negara (APBN). Namun mekanisme yang cocok belum ada

3

Ishaq (DJPI PUPR)

Apakah protokol HSAP perlu diterapkan jika sudah ada draft Pra FS atau FS? Apa kelebihan penggunaan protokol HSAP?

Hasil studi digunakan untuk menilai awal (early stage). Nilai-nilai dapat diadopsi ke airigasi, air baku, bendungan, dll.

Protokol HSAP terdiri dari 4 tahapan yang memiliki penilaian maisng-masing: awal, persiapan, implemetasi, dan operasional.

Untuk menilai awal, perlu FS untuk menilai kesiapan awal persiapan pembangunan PLTMH.

Kelebihan HSAP: penialain terhadap infrastruktur, mencakup aspek penilaian yang komprehensif dan lengkap

 

HSAP bisa diterapkan karena lebih lengkap sebagai masukan dalam rekomtek, tidak hanya data teknis.
Indikator HSAP lebih lengkap dan dapat meminimalkan konflik yang mungkin terjadi. erlu pemahaman lebih lanjut terkait HSAP karena belum familier digunakan