Perubahan iklim merupakan salah satu isu terbesar di dunia dan dinyatakan sebagai salah satu Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB nomor 13. Ini berdampak pada terjadinya air tanah terutama dalam penggunaan air tanah untuk irigasi. Dalam beberapa negara yang menggunakan air tanah sebagai sumber irigasi, mis. Amerika Serikat Amerika, Bangladesh, Bangkok, Pakistan, dan Vietnam, perubahan iklim telah menurunkan curah hujan dan juga muka air tanah. Air tanah untuk irigasi telah digunakan di Indonesia sejak tahun 1970. Hingga 2018, setidaknya total luas lahan yang diairi oleh air tanah adalah 113.600 hektar di beberapa provinsi, yaitu Barat Jawa, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Barat, Selatan Sulawesi, dan Sulawesi Tengah. Perubahan iklim berdampak pada air tanah di hal penurunan curah hujan atau curah hujan yang dapat mempengaruhi permukaan air tanah menolak. Di Jawa sendiri, beberapa analisis curah hujan dari Citarum, Cimanuk, Bengawan DAS Solo, Progo, Serayu, dan Citanduy menunjukkan tren penurunan, dari - 1,616 hingga -8,517 mm/tahun, dan titik balik perubahan iklim ditandai pada tahun 1960. Secara regional, kecenderungan curah hujan di seluruh Indonesia menurun, kecuali di wilayah Pulau Sunda Kecil dan Jawa Timur, sedangkan penurunan tertinggi curah hujan turun di Kalimantan dan penurunan curah hujan yang kurang rentan terjadi di Jawa dan Sulawesi. Tanda penurunan curah hujan jelas mengancam sumber daya air tanah dan produktivitas pangan dari pertanian. Untuk mengatasinya masalah, pemerintah harus mengurangi kemungkinan penurunan air tanah karena terhadap kurangnya curah hujan. Beberapa solusi yang diusulkan: pemanenan air untuk mengisi kembali akuifer, teknologi irigasi, dan mengembalikan aliran irigasi kembali ke akuifer yang diabstraksikan dengan memasang sumur atau kolam imbuhan buatan.