ANALISA KELAYAKAN, KENDALA PENGEMBANGAN USAHATANI DAN SOLUSI DIVERSIFIKASI PRODUK AKHIR TEMULAWAK DI KABUPATEN BOGOR (STUDI KASUS KECAMATAN CILEUNGSI)

Prospek yang baik terhadap permintaan temulawak dalam dan di luar negeri belum diikuti peningkatan produktivitas dan pendapatan petani. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pendapatan petani, tingkat kelayakkan serta kendala pengembangan usahatani dan solusi diversifikasi produk akhir temulawak di Desa Cipenjo, Kecamatan Cileungsi Kabupaten Bogor. Penelitian dilaksanakan sejak November 2008 dengan metode survei. Petani responden ditentukan secara acak sederhana sebanyak 20 kepala keluarga (KK) dari 28 KK. Pendapatan petani dari usahatani temulawak dianalisis dengan analisis pendapatan, sedangkan kelayakannya melalui pendekatan analisis B/C, NPV dan IRR. Pola usahatani temulawak di lokasi penelitian bukan tanaman budidaya skala besar, produksi diperoleh dari budidaya yang dilakukan pada skala kecil dan sederhana. Harga rimpang basah temulawak yang berlaku pada petani selama ini berkisar antara Rp1.000-Rp2.000/kg. Hasil analisis pendapatan dengan menggunakan harga ratarata dari harga jual petani Rp1.500/kg, menunjukkan bahwa pendapatan petani dari usahatani temulawak sebesar Rp 876.380/1.000 m²/panen (10 bulan) atau rata-rata Rp87.638/bln. Hasil analisis kelayakan usahatani dengan discount factor 1,5%/bln atau 18%/th, diketahui nilai Net B/C Ratio >1 (1,5%), NPV positif (Rp 598.368) dan IRR aktual (4%/ bln) > dari IRR estimate (1,5%/bln). Hal ini menunjukkan, bahwa usahatani temulawak di Desa Cipenjo Kecamatan Cileungsi Kabupaten Bogor layak secara finansial. Hasil analisis sensitifitas harga, jika produksi tetap (1.750 kg/1.000 m²), kondisi Break Event Point usahatani temulawak terjadi jika harga rimpang basah temulawak sebesar Rp1.100/kg atau turun sampai 27% masih menguntungkan. Hasil analisis sensitifitas produksi, jika harga rimpang basah tetap Rp1.500/kg, kondisi break event point usahatani temulawak terjadi jika produktivitas mencapai 1.290 kg/ 1.000 m² atau turun sampai 26% masih menguntungkan. Akan tetapi jika harga rimpang basah turun menjadi harga terendah Rp1.000/kg, kondisi break event point usahatani temulawak terjadi jika produktivitas mencapai 1.925 kg/1.000 m² (naik 9%). Hal ini berarti jika harga rimpang basah mencapai harga terendah (Rp1.000/kg) dan produktivitas usahatani dibawah 1.925 kg/ha, maka usahatani temulawak akan mengalami kerugian. Di temukan kendala utama dalam pengembangan temulawak di lokasi penelitian yaitu belum adanya pasar untuk komoditi temulawak di daerah tersebut. Kendala secara umum, yaitu disamping tingkat pendidikan, keterbatasan modal dan luas kepemilikan lahan, belum menggunakan varietas unggul, teknik budidaya yang diterapkan belum sesuai dengan teknologi yang dianjurkan, bahkan pada umumnya produksi dilakukan secara pengumpulan. Untuk menciptakan permintaan/pasar, diversifikasi produk temulawak seperti membuat simplisia, ekstrak, produk instan, sirup temulawak, minuman segar dan lainlain merupakan salah satu solusinya.

Sumber

Tahun Terbit