Proceeding Forum Irigasi Indonesia

Buku Proceeding Forum Irigasi Indonesia 2018 ialah kumpulan hasil penelitian, kajian ilmiah, dan sumbangsih buah pikir yang diberikan oleh para akdemisi, praktisi, ahli, dan birokrat. Forum Irigasi Indonesia 2018 mengusung tema Development of Water, Food and Energy in Competitive Environment atau Pembangunan Sumber Daya Air, Pangan, dan Energi dalam Lingkungan yang Kompetitif. Dalam buku ini memuat beberapa penyelesaian yang ditawarkan dari tantangan di pengelolaan sumber daya air. Sumbangsih tersebut diharapkan dapat menjadi masukkan dalam penyusunan RPJMN 2020-2024 di sektor sumber daya air. Kemudian pendekatan Water-Energy-Food Nexus merupakan pendekatan yang bertujuan menciptakan pembangunan berkelanjutan dengan mengkolaborasikan air, energi, dan pangan. Tiga tantangan lainnya yaitu, Pertama: Pertumbuhan penduduk yang cukup besar yaitu 1,3 % per tahun yang diiringi dengan meningkatnya eksploitasi isu sumber daya alam yang mendorong terjadinya kerusakan sumber daya alam, termasuk sumber daya air. Desakan pertumbuhan penduduk (population pressure) mengakibatkan dibukanya lahan hutan terutama daerah hulu untuk memenuhi kebutuhan hidup, yang berakibat pada meningkatnya sedimentasi dan pendangkalan sungai jaringan irigasi. Kondisi ini berdampak pada menurunnya kualitas layanan air terhadap kegiatan budidaya tanaman, pemenuhan air baku, dan pembangkit energi pada sungai atau bendungan. Untuk menjaga pasokan, kebutuhan biaya pemeliharaan dan rehabilitasi infrastruktur sumber daya air meningkat. Di lain pihak, kemampuan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan biaya pemeliharaan dan rehabilitasi terbatas. Akibatnya terjadi deteriorasi kondisi fisik infrastruktur sumber daya air dan irigasi. Di sisi lain, dengan adanya otonomi daerah, pemerintah daerah berlomba-lomba untuk meningkatkan PAD-nya melalui pembangunan sektor ekonomi berupa misalkan kawasan industri yang berakibat terhadap tingginya alih fungsi lahan khususnya lahan pertanian. Kemudian masyarakat mulai mencari bahan bakar hayati dengan melakukan alih fungsi lahan dari pertanian menjadi perkebunan kelapa sawit yang bisa menjadi energi terbarukan, di mana hal itu merupakan suatu yang positif bagi perekonomian daerah tetapi berdampak buruk terhadap pemenuhan kebutuhan pangan serta bagi struktur tanah. Kedua: Desentralisasi, seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah yang dimulai sejak tahun 2000, telah terjadi beberapa perubahan penting yang berkaitan dengan peran pemerintah pusat dan daerah. Peran pemerintah yang sebelumnya sangat dominan, berubah menjadi fasilitator, stimulator, atau promotor pembangunan. Perumusan kebijakan juga berubah dari pola top-down dan sentralistik menjadi pola bottom-up dan desentralistik. Perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan lebih banyak dilakukan oleh pemerintah daerah. Pemerintah pusat menangani aspek-aspek pembangunan sumber daya air dan irigasi yang tidak efektif dan efisien bila ditangani oleh pemerintah daerah. Kebijakan ketahanan pangan menjadi semakin kompleks dan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, namun tidak serta merta mudah mengkoordinasikannya. Hal ini memunculkan penguasaan birokrasi dan fenomena “putra daerah”. Peraturan perundangan yang semakin menguatkan posisi kelembagaan desa nampaknya akan terus berkembang dan dimatangkan dan akan menjadi wadah bagi otonomi pemerintahan desa. Ketiga: adanya fenomena “climate change” atau perubahan iklim. Perubahan iklim di Indonesia ditandai dengan meningkatnya suhu bumi sekitar 0,8 oC dalam satu abad terakhir (IPCC, 2013). Peningkatan suhu udara tersebut berakibat pada tidak menentunya musim hujan/kemarau dan perubahan curah yang lebih pendek tetapi tinggi. Menurut penelitian dari Badan LitBang Pertanian, selama 1999-2010 telah terjadi peningkatan intensitas hujan di sebagian besar Pulau Jawa, Kalimantan, dan Papua. Sementara itu, di sebagian wilayah pesisir Sumatera, sebagian besar wilayah Sulawesi, dan Maluku terjadi penurunan tren curah hujan. Kondisi perubahan iklim ini berakibat pada meningkatnya kerentanan sistem usaha tani, khususnya tanaman pangan, perikanan, serta perternakan. Kerentananan sistem usaha tani akan meningkatkan ancaman terhadap program swasembada pangan. Oleh karena itu perlu diperhatikan efisiensi kolaborasi dengan berbagai pengguna air dari berbagai sektor.

Sumber

Tahun Terbit 2018