Sejak akhir tahun 1980 sampai dengan tahun 1997 pengelolaan sumberdaya air dilaksanakan dengan pendekatan suplai (supply driven approach) mengakibatkan terabaikannya pemeliharan prasarana sumberdaya air serta pemanfaatan sumberdaya yang tidak berwawasan lingkungan. Lahirnya krisis moneter pada tahun 1997 Pemerintah Indonesia memulai Program Water Resources Sector Adjustment Loan (WATSAL, Loan No 4469 -IND) yang pembiayaannya didukung oleh Bank Dunia. Reformasi kelembagaan irigasi tersebut belum merefleksikan secara tepat terjadinya perubahan yang diharapkan. Oleh karena itu diperlukan kajian proses penguatan kelembagaan pengelolaan irigasi. Penelitian ini diharapkan dapat mengoptimalkan inventarisasi program penguatan kelembagaan irigasi yakni terinventarisasinya rangkaian sejarah kebijakan pengelolaan irigasi dan program penguatan kapasitas dan pemberdayaan kelembagaan pengelolaan irigasi. Kajian ini akan berbasis pada tiga hal, yaitu : 1. kajian terhadap teori pembangunan yang mendasari dilakukannya suatu kebijakan yang dianut pemerintah pada suatu masa; 2. pendekatan berbasis sistem untuk melakukan analisis; dan 3. analisis secara empiris berdasarkan temuan fakta di lapangan. Kajian ini diawali dengan kegiatan Forum Group Discussion atau FGD internal yang dilanjutkan dengan pelaksanaan survey, penyusunan basis data dan sistem informasi serta analisis permasalahan dan kebutuhan penanganan. Metoda yang dilaksanakan pada tahap ini adalah melalui pelibatan aktif stakeholders. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa implikasi kebijaksanaan di bidang kelembagaan irigasi disimpulkan sebagai berikut : 1)Penggabungan P3A dan pelibatan petani anggota P3A dalam pengelolaan sumber daya air sampai pada distribusi air di tingkat atas (saluran primer dan sekunder) merupakan langkah strategis dalam meningkatkan efisiensi pemanfaatan air irigasi di tingkat lokal. Penggabungan P3A seyogyanya didasarkan pada wilayah hidrologi (bukan pendekatan administratif ), sehingga potensi konflik dalam pengelolaan irigasi relatif dapat dihindari. 2) Penyerahan urusan pemungutan dan pengelolaan dana IPAIR yang otonom,dapat mendorong partisipasi petani dalam membayar iuran. 3) Tarif IPAIR tidak dapat diberlakukan secara umum karena tingkat pelayanan aparat pengairan tergantung pada kebutuhan petani dan ketersediaan air. 4) Diperlukan adanya pedoman yang jelas dan partisipatif serta berwawasan lingkungan disesuaikan dengan kondisi sosiokultural masyarakat setempat melalui pemberdayaan institusi “Community Management” seperti P3A.